Dari Hampa Setrum Menyala

Minggu, September 23, 2012

Majalah TEMPO Edisi 23-29 Juli 2012

Foto-foto: ABDI PURMONO

Tukang servis dinamo di Malang menciptakan generator tanpa bahan bakar. Bisa menyala 24 jam sejak 2008.

BANGUNAN itu ibarat mercusuar. Sementara rumah lain di Desa Janti, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, gelap karena belum tersentuh listrik, griya keluarga Soeryo Priyanto terang-benderang. Lampu menyala siang-malam.

Setrum itu bersumber dari generator dengan dimensi 60 x 70 x 90 sentimeter dan berbobot 30 kilogram. soeryo, 35 tahun, membeli alat seharga Rp 8 juta itu pada Januari lalu. Sejak itu, dia tidak lagi menyambung kabel dari tetangganya yang memiliki generator diesel dan membayar Rp 50 ribu per bulan. Mesin anyarnya mampu menyalakan televisi, kulkas, dan selusin lampu dengan kapasitas maksimal 2.000 watt tanpa suara, tidak seperti generator tetangga yang bising. Dan—ini yang dahsyat—alat itu menyala 24 jam sonder bahan bakar.

“Saya tidak membayar apa pun untuk listrik,” kata Soeryo kepada Tempo, pertengahan pekan lalu. Puas akan pembelian pertama, dia kembali memesan alat serupa untuk pabrik sari apelnya di Batu, Jawa Timur.

Pembangkit setrum tanpa biaya itu berasal dari balik dinding bambu berukuran 18 meter persegi di Desa Ngroto, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Aura kerahasiaan memenuhi bengkel servis dinamo tersebut. Slamet Haryanto, 51 tahun, memandang penuh curiga tatkala Tempo melangkah masuk. Kewaspadaan langsung hilang setelah ia mendapat penjelasan dari rekannya yang lebih dulu mengenal Tempo.

Pria lulusan sekolah dasar ini mengatakawan gaweannya pantang diketahui banyak orang. “Takut dibilang jual alat terlarang,” katanya. Beberapa bulan lalu, seorang yang mengaku utusan sebuah pembangkit listrik tenaga uap meminta Slamet berhenti membuat generator karena bisa membuat banyak usaha bangkrut. Saking ketakutannya, dia menolak seorang anggota staf Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan untuk menemui Pak Menteri saat berada di Malang, dua bulan lalu.

Sebatang rokok kretek membantu menenangkannya. Pria yang belajar ilmu kelistrikan dari ayahnya ini—yang juga tukang servis dinamo—mulai putar otak membuat pembangkit listrik pada 1997. Waktu itu temannya dari kampung sebelah minta dibuatkan pembangkit listrik sebagai pengganti petromaks. Awalnya, dia ingin membuat kincir angin, tapi batal karena sulit dan butuh biaya besar.

Melupakan permintaan temannya, Slamet terlarut dalam obsesi menemukan pembangkit listrik ideal. Kutak-katik terus berlanjut. Pada 2008, tercipta purwarupa pertama generatornya. Alat itu bekerja memanfaatkan karbon padat yang diambil dari hasil pembakaran batok kelapa, plus seratusan elemen dan kapasitor. Begitu banyaknya karbon yang dibutuhkan, Slamet membeli karbon dari petani kelapa di Tulungagung. Karbon dipasang di panel kaca. Satu panel membutuhkan sekitar 3 kilogram karbon.

Generator van Pujon ini mengandalkan arus bolak-balik, dari panel-trafo-aki-mesin-pendorong-kapasitor. “Dari kapasitor sebagian jadi daya listrik, sebagian kembali ke panel,” katanya. Prototipe ini bertegangan 380 volt dan berkapasitas maksimal 13 kilowatt.

Kapasitor
Ayah tiga anak ini lalu mengembangkan tipe lain yang bertegangan 220 volt dan daya maksimal 6.000 watt, yang cocok untuk listrik rumahan. Jenis ini memiliki dua panel kaca, yang masing-masing berisi 3 kilogram karbon padat. Panel ini berfungsi menyimpan daya listrik 1.500-2.000 watt per panel. Untuk tipe yang lebih besar, 380 volt, maksimal 48 kilowatt dan biasa digunakan untuk industri, dibutuhkan enam panel. Perbedaan lainnya, tipe kecil cuma butuh satu kapasitor, dan yang besar butuh dua.

Slamet mengatakan generatornya bisa bekerja 24 jam, dengan syarat ada alat yang terus membutuhkan listrik. Idealnya kulkas. Kalaupun tak ada, minimal ada sebuah lampu yang terus menyala. Kalau arus sampai putus, generator mati dan harus dipancing dengan aki.

Hingga pekan lalu, Slamet telah membuat seratus unit. Namun dia belum menentukan nama yang cocok untuk mesin ciptaannya ini. “Daripada bingung, saya sebut saja Pembangkit Listrik Tenaga Hampa,” katanya. Untuk membuat satu PLTH kapasitas 1 kilowatt, Slamet menghabiskan Rp 3-4 juta. Alat itu dia jual dengan selisih Rp 1 juta. Sedangkan yang berkapasitas 13 kilowatt dia butuh modal Rp 45 juta dan dia jual Rp 55 juta.

Lewat pemasaran getok tular alias dari mulut ke mulut, pembangkit Slamet menarik minat banyak orang. Ada yang dari tetangga di kampung sebelah, perusahaan karoseri kendaraan, dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Sayang, dia tak mampu memenuhi permintaan PLTH berkapasitas besar, terutama yang 48 kilowatt, yang butuh modal Rp 160 juta. “Membuat unit kecil saja saya harus ngutang dulu,” kata Slamet.

Guru besar teknik mesin Universitas Brawijaya, Malang, I.N.G. Wardana, mengatakan prinsip kerja PLTH mirip baterai litium. Mobil listrik buatan ilmuwan Depok, Jawa Barat, yang pekan lalu dikendarai Dahlan Iskan menggunakan baterai serupa. “Ada dua dugaan,” ujar Wardana setelah melihat foto dan bagan kerja PLTH yang disodorkan Tempo.

Pertama, panel di generator tersebut mengandung unsur kimia, di luar karbon, yang memiliki derajat asam dan basa yang serupa dengan baterai litium. Kedua, mesin itu memiliki sejenis fuel cell, alat yang mengubah energi kimia jadi listrik. “Intinya, mesin bekerja dengan prinsip baterai, yang menyimpan energi untuk diubah jadi energi listrik.” Profesor Wardana, yang penasaran ingin melihat langsung temuan itu, menyarankan Slamet segera mematenkan ciptaannya supaya tidak dibajak orang lain.

Kekhawatiran Pak Profesor ada benarnya. Slamet mengatakan, tahun lalu, seorang ahli Singapura yang bekerja di sebuah perubahaan tambang tembaga dan emas di Papua membeli mesin buatannya. Si pakar mesin lalu membongkar generator tersebut, tapi gagal menghidupkannya kembali. Upaya serupa dilakukan pembeli dari Bojonegoro, Jawa Timur, pada Mei lalu. Bahkan kali ini si pembeli terkena setrum saat membongkar mesin. Mereka lalu menuntut Slamet mengganti dengan mesin baru.

Slamet yakin hendak mengetahui jeroan dan membuat mesin tiruan. Apalagi ia memergoki pembeli dari Bojonegoro tersebut sedang berkumpul di rumah seorang pembeli di Sidoarjo, bersama tiga pembeli lain yang memesan dalam waktu hampir bersamaan. Beruntung, dia memasang sebuah komponen rahasia yang membuat mesin mati total atau menyengat saat dibongkar. “Supaya alat saya tidak dibajak,” ujarnya.

Entah sampai kapan jebakan batman-nya bertahan. REZA MAULANA, ABDI PURMONO (MALANG)

Share this :

Previous
Next Post »