Adu Sikut Dana KUT

Rabu, Maret 07, 2012

Kantor Bupati Aceh Tenggara di Kutacane, Maret 1999. (Foto-foto: ABDI PURMONO)



Manipulasi: Dana KUT Kabupaten Aceh Tenggara ditengarai telah disunat Rp 21,624 miliar. Modus operandinya, data penerima KUT di kantor bupati diutak-atik. Kerja sebuah mafia?

MUSIM tanam rendeng, lazimnya, adalah masa untuk memulai cocok tanam. Tapi bagi sebagian pejabat di negeri Aceh, musim tanam rendeng justru digunakan sebagai genderang untuk memulai "panen". Yang dipanen tentu saja bukan palawija, padi, atau hasil budi daya pertanian lainnya. Melainkan duit. Pasalnya, pada saat itulah Bank Indonesia mulai mengucurkan dana kredit usaha tani (KUT) ke daerah. Dan dana itu sungguh rentan untuk dimanipulasi.

Kasus penyelewengan KUT yang paling menghebohkan terjadi di Kabupaten Aceh Tenggara (Agara). Dana KUT untuk musim tanam rendeng (MTR) 1998/1999 diduga telah ditilap Rp 21,624 miliar. 

Kecurigaan itu bermula dari adanya surat permohonan 33 ketua koperasi unit desa (KUD) kepada Kanwil BRI Aceh. Uniknya, bentuk stempel pada lampiran surat yang bertanggal 29 Januari 1999 itu satu sama lain menunjukkan kemiripan. Sinyalemen ini kemudian diperkuat lagi oleh bukti dari Kanwil Departemen Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah Aceh. Ternyata, 18 dari 33 unit KUD yang mengajukan permohonan itu cuma bohong alias fiktif. Sedangkan sisanya memang sudah berstatus badan hukum, namun banyak yang tidak aktif.

Anehnya, meski tidak ditemukan ada ketidakberesan, Bupati Agara Syahbuddin B.P. malah ngotot meminta tambahan Rp 17,291 miliar. Dalam rapat tertutup di Kanwil Departemen Pertanian Aceh (Kamis, 18 Februari), Tim Satuan Pelaksana (Satpel) Bimas Agara mendesak Tim Satuan Pembina (Satpem) Bimas Tingkat I Aceh, merekomendasikan pencairan dana tersebut. Alasannya, bupati telah terlanjur men-SK-kan 407 kelompok tani. Ini diperkuat lagi oleh keterangan Kepala Dinas Pertanian Agara, Ir. Nasrudin. Dana Rp 800 juta yang disalurkan pada September tahun lalu kata Nasrudin, akan dikembalikan pada Maret 1999.

Ia pun merinci, total KUT Rp 21,624 miliar disalurkan kepada 720 kelompok tani dengan luas areal 26.074,75 hektare. Untuk tanaman jagung Rp 14,987 miliar kepada 398 kelompok tani dengan luas areal tanam 15.792 hektare, dan padi senilai Rp 6,636 miliar dengan luas lahan 10.282,75 hektare. “Jadi, tidak ada masalah dalam penyaluran dana KUT,” kata Nasrudin.

Namun, aparat di provinsi tidak mau menelan keterangan itu bulat-bulat. Sebaliknya, mereka malah meminta bupati untuk mempertanggungjawabkan penggunaan dana KUT sebelumnya secara terperinci. Bahkan Gubernur Aceh Syamsuddin Mahmud, selaku Ketua Tim Satpem Bimas Tingkat I, secara khusus mengirimkan kawat bernomor 521/2295 Tanggal 3 Februari 1999. Ia memerintahkan Bupati Agara Syahbuddin B.P. untuk menghentikan pengusulan tambahan KUT karena dinilai sudah terjadi penyimpangan dan melebihi plafon.

Petani di Pacet, Kabupaten Mojokerto, 22 Mei 2004

Konspirasi busuk itu akhirnya terbongkar juga. Tim Pemantau Tingkat I Aceh, diketuai Mohd. Husin S.P., melakukan pemantauan pada 22-27 Februari lalu di Agara. Mereka berhasil menemukan bukti konkret bahwa penyaluran KUT MTR 1998/1999 di daerah sentra produksi jagung itu telah diselewengkan amat serius. Pelakunya mulai dari masyarakat paling bawah hingga pejabat teras pemda. Menurut Husin, dana KUT yang telah dicairkan jauh di atas 25% dari luas lahan di Agara. Artinya, pencairan dana itu telah melebihi plafon yang ada. lalu, terutama di tingkat pengurus koperasi, ketua kelompok tani, dan oknum tertentu, penyalurannya juga banyak bermasalah. Ini disebabkan tiga faktor berikut: KUT ditangani secara tidak profesional, kredibilitas sebagian petugas penyuluh lapangan masih rendah, dan aparat di tingkat kabupaten maupun kecamatan kurang serius melakukan pembinaan terhadap KUD.

Dari temuan Tim Pemantau KUT Tingkat I Aceh itu, tergambarlah sebuah modus operandi. Penyimpangan penyaluran KUT di Agara diduga kuat bermula dari manipulasi hasil rapat Satpel Bimas tentang sjala prioritas pencairan KUT. Daftar yang disetujui, ternyata, berbeda dengan SK bupati. Misalnya, kelompok tani A-B-C sebenarnya diprioritaskan akan mendapat kucuran bantuan KUT tahap I. Tapi dalam SK bupati, posisi kelompok tani tadi malah digeser ke tahap II dan III. Pelakunya, Kabag Perekonomian Setwilda setempat, Drs. Rusdi. Adapun perubahan posisi itu, ditengarai berkaitan erat dengan besarnya uang pelicin yang bisa diberikan ke kocek Rusdi. Yakni, berkisar Rp 600.000 sampai Rp 3 juta per kelompok tani atau KUD. Pendek kata, SK bupati telah dikangkangi Rusdi. Atas temuan ini, Asisten II Setwilda Aceh, H. Abdullah Yahya, mengatakan, pihaknya telah membentuk tim penagih. “Juklak penyaluran KUT MTR 1998/1999 itu telah mengatur pemrosesan hukum terhadap para pelaku penyelewengan,” kata Abdullah menegaskan.

Setelah kasus berbau KKN itu terbongkar, orang-orang yang terlibat di dalamnya saling tuding. Kini, mereka telah menyiapkan ‘strategi’ baru untuk mengacaukan proses pengusutan oleh Kejakti dan Polda Aceh. Konon, gerombolan ‘mafia’ KUT itu sudah bersiap mengorbankan Rusdi sebagai tumbal. Namun, menurut beberapa kalangan di DPRD Aceh, Bupati Agara, Syahbuddin B.P., juga harus turut bertanggung jawab. “Mustahil ia tidak tahu,” ujar mereka. ABDI PURMONO (KUTACANE)


CATATAN:

Berita di atas merupakan berita pertama saya di majalah Panji Masyarakat. Berita ini tepatnya dimuat di edisi Nomor 49 Tahun II, 24 Maret 1999.


Share this :

Previous
Next Post »