Akibat Mutasi di Kromosom 17

Kamis, Februari 09, 2012
Majalah TEMPO Edisi 28 November-4 Desember 2011


Seorang pasien tumor selubung saraf tepi yang tubuhnya dipenuhi benjolan buka-bukaan. Gagal ditangani dokter Indonesia, ia mendapat komitmen dari pihak asing.

Nama Chandra Wisnu mendadak tenar. Sepanjang dua pekan lalu, pria 57 tahun itu menjadi bahasan di berbagai media asing, seperti The Sun (Inggris) atau Herald Sun (Australia). Gara-garanya, warga Desa Glanggang, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, Jawa Timur, ini mengidap kelainan di tubuhnya.

Di seluruh tubuhnya tumbuh gelembung atau benjolan, besar maupun kecil. Karena itulah media asing menjuluki Chandra sebagai “The Bubble Man” alias Manusia Gelembung.

Setelah penyakit Chandra ramai diberitakan, petugas dari dinas kesehatan setempat turun tangan. Sudah dua kali mereka memeriksa Chandra di rumahnya. Berdasarkan pemeriksaan itu, diagnosis pun didapat. “Ia menderita neurofibromatosis, tumor jinak saraf tepi. Tumor ini tidak menular,” kata Hadi Puspita, Kepala Bidang Peningkatan dan Pelayanan kesehatan Masyarakat, Dinas Kesehatan Kabupaten Malang, Selasa pekan lalu.

Gejalanya adalah kemunculan benjolan di seluruh tubuh, dari kepala sampai kaki, tapi tak merusak fungsi jaringan tubuhnya.

Sejumlah ahli menyebut penyakit ini terjadi karena mutasi gen neurofibromatosis yang berada di kromosom 17—satu dari 23 pasang kromosom yang dimiliki manusia. Kenapa mutasi itu terjadi, semua masih menjadi misteri. “Sebagian kasus keganasan neurofibromatosis diduga terjadi karena pertalian hubungan darah, walau belum tentu menurun,” kata Hadi.

Dalam kasus Chandra, dua dari empat anaknya, yakni Martin Ananda, 32 tahun, dan Iis Chandra Dewi, 27 tahun, mengalami gejala serupa, meski benjolannya belum sehebat Chandra.

Angka kejadian neurofibromatosis diperkirakan 1 dalam 3.000 kelahiran. Di Amerika Serikat, saban tahun ada sekitar 100 ribu warga yang mengidap penyakit ini dengan derajat yang berbeda-beda. Adapun di Indonesia, seperti juga untuk penyakit lain, belum ada data yang pasti. Yang jelas, menurut Supriyantoro, Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan, yang juga dokter spesialis saraf, “Kejadian neurofibromatosis terhitung jarang.”

Lantaran penyebab pastinya belum diketahui, obatnya pun belum ada. Kepada Chandra, Hadi Puspita menyarankan agar ia menjaga kebersihan tubuh guna menghindari iritasi yang dapat memicu terjadinya infeksi. Agar perkembangannya terus terpantau, Dinas Kesehatan Kabupaten Malang akan terus mengobservasi pertumbuhan benjolan di tubuh Chandra.

Untuk sementara, Chandra saat ini ditangani Rumah Sakit Umum Daerah Kanjuruhan, Malang. Jika tim di sini sudah angkat tangan, terbuka kemungkinan Chandra akan dirujuk ke RS dr Soetomo, Surabaya. Namun, kapan ia diboyong ke Surabaya, belum bisa ditentukan. “Kami buat dulu laporan yang lengkap untuk Ibu Menteri Kesehatan, baru bisa diputuskan kapan dibawa ke Surabaya,” kata Mursyidah, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Malang.

Supriyantoro berpendapat benjolan di tubuh Chandra bisa dibuang lewat operasi. Namun itu tidak serta-merta bisa dilakukan. Dokter menganalisis apakah pengambilan benjolan tersebut akan mengganggu fungsi saraf atau tidak. Jika mengganggu, kata dia, “Ya, benjolan tersebut tak perlu diambil. Pertimbangan ini penting.”

Khusus mengenai dua anak Chandra, Martin dan Iis, upaya yang bisa dilakukan untuk memperlambat pertumbuhan tumor bisa dilakukan, antara lain menjalani pola hidup bersih dan memperbaiki asupan gizi agar daya tahan tubuh terdongkrak. Meski demikian, Supriyantoro mengaku usaha itu tidak bisa menjamin melambatnya perkembangan tumor di tubuh Martin dan Iis. “Kami tak berani bilang begitu,” kata dia, “Ini sangat individual, apabila ada unsur genetiknya.”

Chandra dan sang istri saat menikah.
Repro: ABDI PURMONO
SEJATINYA, sebelum kondisi tubuhnya menjadi seperti sekarang, Chandra sudah memeriksakan diri ke dokter beberapa kali. Tapi tak satu pun dokter, baik spesialis kulit maupun bedah, yang berhasil menangani penyakitnya.

Menurut Chandra, penyakit yang ngendon di tubuhnya berawal dari gatal-gatal yang mulai dirasakan saat berusia 18 tahun. "Gatal-gatal muncul tiap kali kena suhu panas atau kalau pikiran saya lagi berat," kata pria kelahiran Surabaya, 16 September 1954, ini. Agar tak melulu kepanasan, Chandra dipindah dari Surabaya ke Malang, yang berhawa sejuk.

Sepekan setelah gatal, benjolan-benjolan pun muncul. Benjolan pertama muncul di punggung. Makin lama, benjolan makin banyak karena terus muncul tiap kali menggaruk gatalnya. Pada 1974, Chandra memeriksakan diri ke Rumah Sakit Umum Daerah dr Sjaiful Anwar, Kota Malang. Pada tahun itulah, pertama kali benjolan-benjolan di tubuh Chandra dicabut. Tapi benjolan baru tetap tumbuh. Di rumah sakit ini pula, pada 1999, Martin, anak Chandra, menjalani operasi pencabutan benjola, tapi tumbuhnya benjolan tak bisa dihentikan.

Pada 1990, Chandra mengalami kelumpuhan akibat kena virus tulang dan dibawa ke RS dr Soetomo di Surabaya. Semula dokter mengira kelumpuhan itu berhubungan dengan kemunculan benjolan di tubuhnya. Saat itu ia belum tahu nama penyakit yang diidapnya. “Pada 1994 atau 1996, saya dibayari bos sebesar Rp 300 ribu untuk mengobati benjolan-benjolan ini, tapi dokternya juga menyerah,” katanya.

Selanjutnya, pada 2010, barulah Chandra tahu bahwa penyakit yang menclok di tubuhnya adalah tumor jinak saraf tepi, yang terjadi karena faktor genetik. Namun, ia mengaku, di keluarga besarnya tak ada yang mengalami penyakit serupa. “Kedua orangtua saya baik-baik saja, tapi entah dengan kakek atau buyut saya,” kata pensiunan Pegawai Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Timur ini.

Seiring dengan berjalannya waktu, benjolan itu kian banyak saja. Chandra mengaku tak ada kiat khusus untuk mencegah gatal. Obat-obatan pun sudah lama tak dikonsumsi, sejak para dokter angkat tangan.

Belajar dari pengalaman, obat pelenyap gatal diganti dengan pukulan beberapa kali pada bagian tubuh yang gatal. Biasanya pukulan dilakukan oleh Nani Tri Haryani, istri yang hingga kini setia menemani Chandra, yang kini lebih banyak menghabiskan waktu di rumah tipe 36 yang mulai ditempati pada 1996 itu.

Dengan jujur Chandra mengaku sudah malas berobat. Padahal sebenarnya ia masih bisa berobat karena punya asuransi kesehatan. Bahkan, dari asuransi itu pula, Chandra pernah mendapat duit Rp 300 juta untuk berobat. Tapi, itu tadi, hasilnya tidak terlihat.

“Penyakit saya tak bisa sembuh, entah kalau nanti diobati di luar negeri,“ kata Chandra, yang mengaku mendapat komitmen dari wartawan Agence France Presse (AFP), sebuah kantor berita Prancis, yang pernah mewawancarainya. “Mereka bisa datang sewaktu-waktu ke sini dengan membawa dokter,” katanya. DWI WIYANA, ABDI PURMONO (MALANG)


Share this :

Previous
Next Post »