Dokar Never Die

Senin, Mei 16, 2011
Foto-foto: ABDI PURMONO



LIDAH api menari-nari. Sesekali memercik bagai kembang api ketika Giman menyogrokkan dua potong besi penjepit ke dalam tungku pembakar. Kulit Giman seperti sudah kebal terhadap sengatan panas.

Dijumpai pada Sabtu siang, 3 Februari 2009, ia sedang memukuli lempengan baja yang memerah untuk ditempah menjadi cangkul. Ia juga mengerjakan sebatang celurit. Ya, ia melakukan pekerjaan layaknya seorang pandai besi.

Namun Giman bukan hanya seorang pandai besi. Sejatinya ia seorang pemilik bengkel dokar.


“Dulu-dulunya saya dan bapak saya masih sering membuat dokar,” kata Giman di bengkel dokar atau goglek yang berada di depan rumahnya di Desa Pulungdowo, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang.


Keahlian memperbaiki sekaligus membuat dokar ditekuni Giman sejak ia menjadi murid kelas lima sekolah dasar tahun 1977. Ia membantu Jati, sang ayah, sehabis pulang sekolah. Giman mengaku merupakan generasi kelima dalam keluarga besarnya.


“Keahlian saya ini turun-temurun dari leluhur saya. Dari dulu-dulunya, bahkan sebelum Indonesia merdeka, keluarga besar saya memang sudah jadi pembuat dokar dan bendi,” ujar pria kelahiran Malang 45 tahun silam itu.

Giman berkisah, di era 1970-an goglek masih banyak digunakan untuk memperbaiki cikar, gerobak yang dihela kerbau maupun sapi. Cikar waktu itu menjadi alat transportasi utama di wilayah timur Kabupaten Malang, teruma di Kecamatan Pakis. Dokar masih sangat sedikit. Bengkel ayahnya biasa mengerjakan mulai roda, rangka gerobak, hingga mempermak bodi cikar.


Cikar mulai ditinggalkan ketika jalan desa diaspal. Mulai 1977 ayah Giman menerima banyak pesanan pembuatan dokar. Lama masa pengerjaan tiap dokar rata-rata sebulan, dengan ongkos masih Rp 25 ribu.


Ia sendiri mandiri membuka goglek pada 1989 di Desa Jeru, masih di kecamatan yang sama. Saat ini ia dibantu Klumpuk, sang istri berusia 43 tahun; Budi Dwi Lestari, putra pertama berusia 23 tahun, serta dibantu seorang pemuda kampung setempat.


Giman menjalankan bengkel khusus dokar sampai 1999. Bengkelnya laris-manis. Ia sering mendapat “pasien” di atas sepuluh dokar dalam sepekan. Tiap bulan pasti ada saja pemilik dokar yang melakukan “general check-up” di bengkel Giman. Lama perbaikan tergantung tingkat kerusakan. Kalau cuma pegas dan as roda, paling-paling dalam hitungan jam sudah beres.


Order mulai menyusut ketika mobil angkutan desa beroperasi dan makin menyusut setelah banyak orang desa memiliki sepeda motor. Giman dan banyak pemilik dokar pun jadi sedih.


“Dulu memang sampai numpuk-numpuk dokarnya. Dalam sehari rata-rata ada sepuluh dokar yang harus diperbaiki. Tapi sekarang tidak lagi. Tapi saya sudah biasa hidup prihatin dan nggak mau nyerah. Selama masih ada dokar, bendi, sawah, dan ladang, insya Allah, bengkel saya tetap laris. Rezeki bisa datang dari mana-mana kalau kita mau kerja keras dan kreatif.”


Setelah 1999 Giman mulai menerima order di luar servis dokar. Ia siap melayani siapa pun petani yang ingin memperbaiki alat-alat pertanian. Ini pekerjaan tambahan jika tak ada order servis dokar.


Giman masih memiliki banyak pelanggan kendati dokar mulai ditinggalkan. Sang pelanggan, antara lain, berasal dari luar Malang, seperti Lumajang, Blitar, Tulungagung, Pasuruan, dan Kediri. Pelanggan di Malang kebanyakan berasal dari Tumpang, Lawang, dan Singosari. Di Tumpang, misalnya, masih ada 200-an dokar yang beroperasi.


”Setelah 1999 saya kerja serabutan. Perbaikan alat-alat pertanian saya terima saja. Dalam sehari rata-rata ada satu dokar yang harus diperbaiki. Selain reparasi, banyak pelanggan saya yang memesan macam-macam peralatan dokar; sebagian untuk suku cadang karena kebanyakan peralatan dokar tidak dijual di pasaran. Peralatan yang ada di sini sebagian hasil buatan sendiri.”

Sebagian bahan besi untuk dokar dan alat-alat pertanian didapat dari pengepul besi bekas di Malang. Biasanya dalam bentukan lantakan. Kebanyakan alat kerja untuk memperbaiki dokar hasil buatan sendiri.


Giman mengenakan ongkos bervariasi dan tergolong murah. Ongkos untuk memperbaiki cangkul berkisar Rp 40 ribu sampai Rp 45 ribu. Untuk satu bendi dipatok Rp 3,5 juta. Sedangkan perbaikan dokar Rp 6,5 juta.


Bendi dan dokar sama-sama ditarik kuda. Tapi perbaikan bendi lebih murah karena struktur bodinya lebih kecil dan tak serumit struktur dokar. Bendi berkapasitas dua orang dan biasanya dipakai untuk bersantai. Sedangkan dokar sanggup mengangkut 6-8 orang layaknya angkutan desa.


Ya, begitulah kerja Giman. Ia optimistis bengkelnya tetap laris selama masih ada dokar. Ia yakin masa depan dokar nggak akan tamat. Karenanya Giman tetap setia dan menyiapkan sang putra sebagai penerus keahlian dan usahanya. ABDI PURMONO

Share this :

Previous
Next Post »
1 Komentar
avatar

mampir mas, mampir balik ke blogq ya ...

Balas