Amboi, Film Koboi

Selasa, Januari 19, 2010
Sumber foto: Wikipedia


TANGGAL 25 Maret, jam dua puluh. Layar Emas Rabu RCTI menyuguhkan film Bad Girls. Disusul 1 dan 8 April dengan The Young Guns.

Bad Girsl berlatar tahun 1888, semasa Amerika Serikat (AS) dipimpin presiden ke-22, Grover Cleveland (18 Maret 1837-24 Juni 1908) dari Partai Demokrat. Rakyat AS pun masih berjumlah 63 juta jiwa.

Sebagaimana The Quick and the Dead (dibintangi Sharon Stone sebagai penembak ulung dan sangat menggiurkan di Basic Instinct), Bad Girls termasuk film tak laku. Masih mendingan The Ballad of Little Jo yang sukses menampilkan sentuhan feminis yang manis dalam sebuah film bertema keliaran Dunia Barat.

Sedangkan The Young Guns bak merekonstruksi sepak terjang “Para Pengatur” seraya mengurai legenda William B. Hooney alias Billy the Kid. Di masa Presiden Rutherford R. Hayes (4 Oktober 1822-17 Januari 1885), presiden ke-19 dari Partai Republik (partai ini didirikan di negara bagian Wisconsin, 1854), memerintah 1877-1880. Film ini mendeskripsikan Billy the Kid sebagai jago tembak maniak, punya “nyawa rangkap”, plus mega-licik. Padahal, dalam diri Billy toh masih menyimpan kelembutan bagai Robin Hood.

Tapi The Young Guns terlanjur dicap terlampau kasar. Hal ini mendorong stasiun ABC membuat tiruan yang lebih lembut, The Young Riders, yang digarap 1989-1992. Menyusul Twentieth Century Fox membikin serial The Advanture of Brisco County Junior pada 1993. Film yang rutin muncul di TPI ini tetap bernuansa ke-Western-an sekalipun pihak produser enggan filmnya dikatakan demikian, dan merasa lebih sreg dengan sebutan film fantasi yang meramu fiksi-ilmiah tentang perjalanan melintasi waktu.

Sebagaimana mafhumnya film-film Western, persamaan film koboi itu adalah pada pakem dar-der-dor yang menjadi “bahasa resmi” para koboi dalam memungkaskan persoalan. Pistol maupun senapan mereka siap menyalak tanpa banyak bacot: membunuh atau dibunuh, itulah pilihannya. Titik.

Oleh peradaban “Wild West”, duel dan baku tembak lebih merupakan sebuah “kesenian” yang halal, walau ada tokoh seperti Old Shatterland—tokoh rekaan Karl May, pengarang yang fasih bertutur mengenai “Dunia Barat yang Biadab”—yang mengharamkan darah siapa pun.

Bukan berarti semua film koboi sepi dari semangat moralitas. The Big Valley dan Bonanza, barangkali dua contoh yang pantas mewakilinya. Kedua film ini pernah mejeng di TVRI. Dalam sebuah episode The Big Valley, misalnya, para anak lelaki Barbara menolong seorang pemilik peternakan (ranch) yang berusaha membela tanahnya yang hendak dirampas untuk jalur kereta api. Tembak-menembak terjadi. Sejumlah orang koit.

Tetapi, pembunuhan demi mempertahankan tanah merupakan bagian dari etika Western. Hukum di “Old West” juga membenarkan, bahwa menembak seseorang dalam sebuah tarung one by one tidaklah dosa. Melainkan sebuah tindakan sportif dan kesatria, persis Musashi yang memilih “Jalan Pedang”. Bahkan, bila perlu, beberapa nyawa harus ditumbalkan demi keselamatan orang yang lebih banyak.

Kehidupan di zaman koboi bebas baku tembak, terang, bukanlah kehidupan yang tertib, di mana kekerasan niscaya terjadi saban waktu. Usah dihiraukan hukum yang lacur dijadikan olok-olok dan omong kosong. Hukumnya, yang kuatlah yang menang; migth is rigth.

Film The Man Who Shot Liberty Valance (1962) karya John Ford dan John Wayne selaku the man (pernah merenggut Oscar 1969 untuk predikat aktor terbaik lewat True Grit), Midnight Cowboy—meraih Oscar di bidang penyutradaraan (John Schlesinger) dan film terbaik, Little Big Man (1970) dari Arthur Penn, dan Buffalo Bill and the Indians (1976) besutan Roger Altman, merupakan sejumlah contoh film made in Hollywood yang sarat oleh mitos sejarah “Barat yang Liar”.

Kalau pun ada film Western yang berusaha menghormati hukum, mungkin The Unforgiven (1992) bisa dijadikan teladan. Dalam film ini, Clint Eastwood menyutradarai merangkap tokoh William Munny, seorang pembunuh dengan kasus akut. Ketika sherif (dilakoni Gene Hackman, the best actor Oscar 1971 dalam The Frenc Connection), membabi-buta menendangi Munny, seorang lonte bernama Strawberry Alice (Franches Fisher) berteriak lantang mengingatkan bahwa ia menggebuki orang tak bersalah. Artinya, sang sherif harus menghormati asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).

The Unforgiven dihadiahi Academy Award—nama lain Piala Oscar—untuk kategori film terbaik, dan Clint Eastwood (belajar menjadi koboi di serial teve Rawhide, sebuah film Western yang berorientasi kepada keluarga) sendiri kebagian Patung Paman Oscar sebagai sutradara terbagus.

Biar begitu, tak sedikit film Western yang diskriminatif. Tengoklah, betapa orang Indian, yang notabene penduduk asil AS, seringkali diposisikan bagai gerombolan manusia primitif yang buas karena dianggap gemar menguliti kepala koboi yang apes. 

Padahal, boleh jadi, mereka melakukannya untuk membalas kesewenang-wenangan kaum kulit putih yang seenaknya mengembat per jengkal tanah dan menghabisi orang-orang Indian, terhitung sejak kaum kulit putih/pendatang mendirikan koloni permanen Inggris di Jamestown, Virginia, 1607.

Paling-paling film televisi Dr. Quinn (diperankan Jane Seymour) yang betul-betul jujur memperlakukan orang-orang Indian. Dalam satu episodenya, Quinn ditampilkan sedang mengajar anak-anak Indian, dan ditutup dengan kehadiran seorang pendeta yang mencoba menyebarkan ajaran Kristen kepada masyarakat Indian. Namun di film ini tak tampak warna tradisi Western yang sejati.

Atau tontonlah Dance with Wolves-nya Kevin Costner. Academy of Motion Picture Art and Sciences (AMPAS—Akademi Seni dan Pengetahuan Perfilman AS) menganugerahi tujuh Oscar dari 12 nominasi untuk film itu. Dua di antaranya untuk kategori film dan sutradara (Kevin Costner) terbaik. Film ini sudah ditayangkan beberapa kali teve swasta kita, dan bakal diputar kembali oleh Indosiar pada 25 April (Sabtu malam Minggu) nanti.

Harian Analisa, Minggu, 19 April 1998
Selain diskriminatif terhadap orang-orang Indian, film koboi kerap pula bersikap sama terhadap budak-budak Negro. Memang, kenyataannya perlakuan diskriminasi ras/warna kulit pernah berlangsung sangat lama di AS. Sejarah mencatat, pada 7 Maret 1857 Mahkamah Agung AS menyatakan bahwa Kongres tidak dapat melarang perbudakan di territories, dan bahwa budak kulit hitam tak mungkin jadi warga negara.

Pada 1860 Abraham Lincoln (lahir 12 Februari 1809) terpilih menjadi presiden AS ke-16. Pada 20 Desember-nya, South Carolina dan enam negara bagian di Selatan menceraikan diri dan membentuk Konfederasi Negara-Negara Amerika. Pasalnya, ketujuh negara bagian ini tak setuju atas sikap Presiden Lincoln yang menentang keras diperluasnya perbudakan ke territories di bagian Barat. Pemisahan diri ini menimbulkan kekisruhan dan berujung pada perang saudara (12 April 1861-9 April 1865).

Perang saudara kian sengit. Terlebih tatkala Presiden Lincoln memaklumkan Proklamasi Emansipasi yang memerdekakan budak-budak di negara-negara bagian Selatan, 1 Januari 1863. Sayang, keteguhan sikap Presiden Lincoln menuai nahas. Ia tewas pada 15 April 1865, sehari sesudah ditembak di Washington D.C. saat mengunjungi teater.

Diskriminasi ras/warna kulit itu berlangsung ratusan tahun hingga pergolakan sosial marak pada 1960-an. Tak kurang, Presiden John F. Kennedy (29 Mei 1917) menjadi korban pembunuhan pada 22 November 1963. Pendeta Marthin Luther King Junior, pemimpin perjuangan hak-hak sipil dan pemenang Nobel Perdamaian, pun turut menjadi korban pembunuhan di Memphis, Tennesse, 4 April 1968.

Akan tetapi, selepas pergolakan tersebut, yang mencapai titik senshtif secara moral pada 1950-an, kesederhanaan dan kepolosan mitos Western malah raib. Televisi mulai menanggalkan kisah-kisah Western dan menyerahkannya ke bioskop. Apalagi pemasangan iklan semakin aktif membidik kelompok pemirsa muda yang emoh menonton film-film Western bergaya kolot. Padahal, pada 1955 film-film seperti Gunsmoke, Cheyenne, dan Life and Legend of Wyatt Earp sedang getol-getolnya melakukan pemutaran perdana. 

Pada 1960-an, empat di antara lima film paling top di teve adalah yang bercorak Western. Sebagai contoh, Gunsmoke mampu bertahan selama dua dasawarsa dan Bonanza 14 tahun. Konon, tontonan nostalgia ini difokuskan pada masa AS memiliki suatu moralitas yang tak diragukan.

Entahlah. Sekarang terasa agaknya kalau teve sudah menggusur film-film Western bertema buram, bersamaan dengan hadirnya drama keluarga maupun serial komedi-keluarga. Singkat omong: film Western tradisional di teve telah di-dor oleh pertimbangan-pertimbangan demografis dan komersial.

Film-film eksyen layar lebar atau serial semisal NYPD BlueSilk Stalking, Land’s EndPasific Drive, jelas mewarisi genre Western, di mana orang baik (terutama polisi) tetap saja diperbolehkan men-dor penjahat.

Bercermin pada film koboi—film Western pertama dibuat pada 17 Desember 1903, berjudul The Great Train Robbery—kita akan mengetahui bahwa akan selalu ada manusia-manusia berwatak keras dan karenanya menyenangi jalan yang keras. Bahkan, Alfred Hitcock, pencipta Trio Detektif, punya pandangan bahwa kejahatan berliang di dalam hati manusia dan karenanya punya potensi untuk biadab. Jadi, bagi yang anti-film koboi, haraplah jangan terlalu.

Toh dulu, kita juga punya film koboi versi komedi Nya Abbas Acup (Malang, 22 April 1932), mantan asisten H. Usmar Ismail. Tercatat Bing Slamet membintangi Koboi Cengeng (1974), dan Koboi Sutra Ungu (1982) yang lebih merupakan parodi atau ilusi terhadap bintang-bintang Hollywood, seperti ditokohkan Olan Delong (Alain Delon) dan Charles Brondong (Charles Bronson), sekaligus menjadi ekspresi kritik Nya Abbas Acup terhadap kehidupan sosial di masyarakat Indonesia.

Dan, astaga! Saya pernah kepingin menjadi koboi. Tapi, apa daya, saya tak bisa menunggang kuda. Aha, lalu: Welcome to the Malboro Country.

Maaf, Anda jangan salah sangka. ABDI PURMONO



CATATAN

Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan dimuat di harian Analisa, Medan, Minggu, 19 April 1998, berjudul sama dengan judul naskah aslinya. 


Share this :

Previous
Next Post »