Bila Kucur Rindu Hutan

Rabu, Juli 15, 2009
TEMPO, 21/XXXVIII 13 Juli 2009

Desa Kucur
Foto-foto: ABDI PURMONO


Desa Kucur di Malang bertekad melindungi hutan dan satwa langka dengan membuat peraturan. Para pemburu akan dijerat dengan hukum adat.

Hadi Sulistyanto, jago tembak dari Dusun Krajan, akhirnya memutuskan bercerai dari hobi berburunya. Lelaki 32 tahun yang biasa jadi pemandu para pemburu dari Kota Malang itu menjual murah tiga senapan anginnya.

Senapan merek Benjamin Franklin yang ia beli Rp 200 ribu, misalnya, dilego Rp 40 ribu saja. Senapan merek Canon seharga Rp 300 ribu dilepas Rp 80 ribu, dan senapan merek Sam seharga Rp 450 ribu dijualnya Rp 200 ribu. Padahal dengan senjata-senjata itulah Hadi dulu saban hari menembak belasan ekor tupai serta beberapa ekor musang dan ayam hutan. Sebagian hasil buruan itu dia goreng untuk dimakan dan sebagian lain dijual kepada pemesan.

Para pembeli heran melihat Hadi mengobral senapan kebanggaannya itu. ”Kalau ditanya kenapa senapannya saya jual, saya jawab karena saya butuh duit. Padahal bukan itu,” kata bapak beranak satu itu pada Rabu pekan lalu.

Hadi berhenti berburu sejak Desa Kucur, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur, mengeluarkan larangan berburu dan perlindungan satwa liar di daerah itu pada 5 Juni lalu, bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

Sebelum Desa Kucur, beberapa desa lain di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, lebih dulu menerbitkan peraturan perlindungan lingkungan. Tahun lalu, delapan desa di kaki Gunung Sumbing itu mengeluarkan peraturan desa untuk melindungi sumber airnya. Enam desa di Kabupaten Pakpak Bharat dan Dairi di Sumatera Utara juga menerbitkan peraturan desa demi melindungi hutan­nya pada tahun lalu.

Alasan lain Hadi berhenti berburu, jari tangan Raihan, putra tunggalnya­ yang baru berusia 7 tahun, pernah cedera karena salah mengokang senapan. Raihan pula yang acap mendesak sang bapak membawanya melihat monyet dan musang di Pasar Burung Splendid di Kota Malang.

”Saya tak ingin kelakuan buruk saya menurun ke anak saya. Itu seperti karma. Saya juga rindu pada satwa-satwa yang di masa kecil saya gampang dijumpai dan membuat suasana desa lebih hidup. Saya ingin anak saya dan anak-anak kampung sini mengenal satwa-satwa di kampungnya,” kata Hadi.

Hadi dan temannya sesama mantan pemburu, Qoharuddin, kini menjadi sukarelawan pelindung satwa Desa Kucur. Merekalah yang bertugas mencegah atau menguntit orang atau sekelompok orang yang punya gelagat hendak berburu di daerah itu.

DESA Kucur terletak di lereng Gunung Kawi dan menaungi enam dusun, termasuk Dusun Krajan, tempat tinggal Hadi. Desa seluas 732 hektare itu menjadi desa terluas dari sepuluh desa di Kecamatan Dau.

Desa yang berada sekitar 10 kilometer sebelah barat Kota Malang itu dihuni 5.668 jiwa. Penduduknya kebanyakan petani dan buruh pabrik atau kuli bangunan di Kota Malang.

Meski tergolong daerah miskin, desa di ketinggian 800-850 meter di atas permukaan laut itu termasuk kawasan yang masih asri dibanding desa lain di sekitarnya. Udaranya masih sejuk. Bila beruntung, kita dapat pula bertemu dengan aneka satwa liar di hutan sekitarnya.

Belakangan ini beberapa warga mengaku mulai merasa tak nyaman karena udara desa itu tak sesejuk dulu. Kepala Desa Kucur, Abdul Karim, bercerita bahwa sudah lama warga desa mengeluhkan hilangnya satwa liar di desa mereka. Karim masih ingat, pada 1990-an, dia masih dengan gampang menjumpai ayam hutan hijau (Gallus varius), musang, tupai, lutung dan jenis­ monyet lainnya, serta burungburungan. Bahkan rusa sesekali terlihat di dalam hutan.

Perubahan keadaan ini tampaknya­ terjadi seiring dengan pertambahan­ jumlah penduduk serta perluasan per­mukiman dan perladangan, sehingga banyak pohon besar ditebang dan satwa liar menghilang. Monyet-monyet yang dulu senang berkumpul di dekat mata air desa juga menghilang. Debit mata air pun menyusut.

Abdul Karim
”Dulu, kalau saya buka pintu dapur, saya sudah bisa langsung melihat ada ayam alas (ayam hutan) di belakang. Suara-suara burung juga membuat ­suasana desa jadi terasa tenteram dan nyaman. Tapi sekarang sudah tambah panas, tak ada lagi satwa yang bisa kami banggakan,” ujar Karim, lajang berusia 34 tahun yang menjadi kepala desa sejak satu setengah tahun lalu.

Menurut pengelola sekaligus guru Madrasah Tsanawiyah Wahid Hasyim 02 Kucur itu, mayoritas warga merindukan suasana asli desa yang dulu. Mereka, kata dia, juga mengaku kapok menebangi pohon dan berburu satwa.

Dari keluhan warga inilah Karim lantas menggagas peraturan yang akan melindungi satwa desa itu. ”Awalnya banyak yang kaget sewaktu saya bilang mau membuat peraturan desa soal perlindungan satwa liar. Yang paling kaget tentunya para pemburu. Untung, pemburu dari desa ini sudah insaf duluan, jadi lebih gampang membuatnya, karena mereka ikut mendukung,” kata Karim.

Selain menjadi guru madrasah, Karim adalah Wakil Komandan Bantuan Serbaguna Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Malang. Dia juga rajin meng­ikuti diskusi demokrasi dan filsafat yang diadakan Yayasan Averroes, lembaga swadaya masyarakat bidang pendidikan di Malang.

Ini bukan pertama kalinya Karim membuat terobosan. Belum setahun menjadi kepala desa, dia telah menyerukan penduduk menanam pohon sengon (Albasia falcataria). Selain berguna untuk menghijaukan lahan tandus, pohon sengon sudah bisa dijual pada usia 56 tahun. Tahun lalu, desa itu membeli 50 ribu bibit sengon dengan menggunakan dana patungan warga.

Kini Karim membuat peraturan desa mengenai perlindungan satwa liar. Perangkat desa telah membahas rancangan peraturan ini sejak akhir 2008, melibatkan ProFauna Indonesia, lembaga swadaya masyarakat di bidang perlin­dungan satwa liar dan habitatnya. Bagi Karim, ProFauna bukanlah organisasi yang asing karena ia sering mengikuti kegiatan lembaga itu.

ProFauna berdiri pada 1994 dengan nama Konservasi Satwa bagi Kehidupan. Pada 2003, ProFauna mendirikan pusat pendidikan informal tentang pelestarian lingkungan hidup bernama Petungsewu Wildlife Education Center (PWEC) di Desa Petungsewu, yang berbatasan langsung dengan Dusun Sumberbendo di Desa Kucur.

Sejak itu, banyak kegiatan ProFauna dilakukan di Desa Kucur. Bahkan jalan-jalan desa yang tahun lalu belum bernama kini sudah diberi nama satwa seperti kakatua, nuri, rusa, dan elang. Pemberian nama satwa merupakan ide bersama antara penduduk dan Pro­Fauna.

Setelah rancangan peraturan desa itu matang, Badan Permusyawaratan Desa, perangkat desa, dan sesepuh desa pun berembuk. Dengan persetujuan mereka, pada 26 April lalu Abdul Karim selaku kepala desa menetapkan Peraturan Desa Kucur Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perlindungan Satwa Liar Desa Kucur. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Peraturan desa itu melindungi semua jenis satwa liar, baik yang hidup di darat, air, maupun udara. Aturan itu juga melarang penebangan pohon yang menjadi sumber makanan kunci satwa, jenis tumbuhan yang unik atau langka, serta tegakan pohon yang terletak di dekat sumber air, jurang, dan anak su­ngai. Penangkapan ikan dengan setrum atau racun juga dilarang.

Terbitnya peraturan itu sangat didukung Rosek Nursahid, pendiri ProFauna Indonesia. ”Peraturan desa itu bisa menjadi bukti bahwa dari desa yang miskin pun bisa terbit regulasi tentang perlindungan satwa liar. Padahal banyak kota atau kabupaten yang belum memiliki regulasi sejenis. Jangankan regulasi tentang perlindungan satwa, regulasi tentang lingkungan hidup saja belum tentu punya,” kata Rosek pada Selasa pekan lalu.

Lutung
Selain akan menguntungkan kehidupan warga desa dan lingkungannya, kata Rosek, peraturan desa itu dapat memutus mata rantai perdagangan satwa liar. Satwa liar yang paling banyak diburu di Desa Kucur adalah lutung, elang hitam (Ictinaetus malayensis) dan elang ular (Spilornis cheela), cekakak jawa (Halcyon cyanoventris), dan kucing hitam (Felis bengalensis).

Burung memang termasuk satwa koleksi terbesar Kucur. Hasil survei ProFauna memperlihatkan adanya sekitar 80 spesies burung di lereng Gunung Kawi, khususnya di hutan-hutan Desa Kucur dan Petungsewu.

Satwa-satwa yang tergolong langka itu memiliki nilai ekonomi tinggi. Di pasaran, harga elang hitam dan elang ular hampir sama, ratarata Rp 200500 ribu. Harga cekakak jawa Rp 40 ribu dan kucing hitam Rp 200 ribu per ekor. Tapi, ”Kucing hitam yang paling banyak diburu sekarang,” ujar Rosek.

Pelanggaran terhadap peraturan desa ini diancam dengan hukum adat yang berlaku di Desa Kucur. Jenis hukuman ditetapkan berdasarkan penilaian dalam rapat adat desa. ”Biasanya bdrupa denda dengan bahan bangunan seperti semen dan batu bata. Itu juga bergantung pada besar-kecilnya kesalahan. Denda ini persis seperti sanksi yang diberikan kepada orang yang melanggar norma susila di desa,” kata Karim.

Menurut Karim, para pelanggar tidak langsung ditangkap, tapi diberi peringatan lebih dulu. Jika si pelanggar mengulangi perbuatannya, dia dapat ditangkap dan diserahkan kepada polisi atau Balai Konservasi Sumber Daya Alam Departemen Kehutanan.

”Kami yakin tujuan untuk menjaga kelangsungan hidup warga suatu saat tercapai apabila kami konsisten melaksanakan peraturan desa itu,” kata Karim. ”Tinggal kami yang pintar-pintar mengelola aset desa berupa tanah, tumbuhan, dan satwa. Kami pernah menyia-nyiakannya, tapi sekarang tidak lagi.” ABDI PURMONO 


http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/07/13/LIN/mbm.20090713.LIN130802.id.html

Share this :

Previous
Next Post »
1 Komentar
avatar

mohon ijinforward artikel ini, trims

Balas